1. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
individu mendambakan untuk memiliki
keluarga yang lengkap dan bahagia
yang dihasilkan dari pernikahan yang
bahagia pula, akan tetapi banyak faktor
yang menyebabkan individu tersebut tidak dapat memujudkan rumah tangga yang
bahagia, menurut Hassan Shadilly (1984:242) keawetan umur sebuah rumah tangga ditentukan oleh penyesuaian
sifat perseorangan suami istri itu sendiri terhadap pasangannya setelah
menikah, bentuk keluarga serta cara pasangan itu bertemu atau cara mereka
mencari jodoh, sehingga apabila individu tersebut tidak memperhatikan
faktor-faktor tersebuat, ia akan mengalami disorganisasi keluarga.
Menurut
Goode (1991:184) disorganisasi keluarga adalah pecahnya suatu unit keluarga,
terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota
gagal menjalankan kewajiban peran mereka secukupnya.
Suatu
individu yang mengalami disorganisasi keluarga akan menjadi bahan gunjingan
umum, karena keluarga tersebut dinilai masyarakat telah mengalami beberapa hal
negatif yang menyebabkanya mengalami diorganisasi keluarga.
Disorganisasi
keluarga atau yang pada saat ini lebih
dikenal dengan konsep “Broken Home”,
bisa disebabkan oleh banyak hal menurut Goode (1991:184-185), diantaranya yaitu
:
1. Ketidaksahan.
Ini
merupakan unit keluarga yang tak lengkap, ketidaksahan adalah dimana seorang
anak lahir dari hubungan diluar pernikahan dan tidak memiliki ayah yang syah
secara hukum, dan pada saat ini anak tersebut pada masyarakat kita disebut
“anak haram”. Menurut Goode ketidaksahan adalah hal memalukan dan berdampak
pada anak yang dilahirkan memiliki anak yang sosialisasinya tidak sempurna.
2. Pemabatalan,
perpisahan, perceraian, dan meninggalkan.
Penyebab
disorganisasi keluarga disini disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling
meninggalkan, dan demikian berhenti melaksanakan kewajiban peranannya.
3. ”Keluarga
selaput kosong”.
Disini
anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau
bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan hubungan
emosional satu kepada yang lain.
4. Ketiadaan
seseorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan.
Beberapa
keluarga mengalami diorganisasi karena pasangan telah meningggal, dipenjarakan,
atau terpisah dari keluarga karena peperangan, depresi atau malapetaka yang
lain.
5. Kegagalan
peran penting yang tak diinginkan.
Malapetaka
dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental, emosional atau badaniah yang
parah.
Berbagai
penyebab diorganisasi keluarga ini kemudian melahirkan babak kehidupan baru,
seperti terjadinya peran baru yang disebut single
parent.
Seorang
single parent memiliki serangkaian
masalah khusus. Hal ini umumnya disebabkan karena hanya ada satu orang yang
bertanggung jawab membesarkan anak. Hanya ada sedikit sifat positif yang ada
dalam diri suatu keluarga dengan satu orang tua dibandingkan dengan keluarga
dengan orang tua tunggal. Orang tua tunggal ini menjadi lebih penting bagi anak
dan perkembangannya karena orang tua tunggal ini tidak mempunyai patner dalam
menjalankan fungsi dari sebuah keluarga.
Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah pilihan yang sangat berat, untuk ini mereka juga harus siap menerima reaksi negatif dari orang-orang sekitar mereka terlebih untuk wanita untuk menjadi orang tua tunggal itu tidaklah mudah, selain harus menerima reaksi negatif dari orang sekitar mereka.
Pilihan untuk menjadi orang tua tunggal adalah pilihan yang sangat berat, untuk ini mereka juga harus siap menerima reaksi negatif dari orang-orang sekitar mereka terlebih untuk wanita untuk menjadi orang tua tunggal itu tidaklah mudah, selain harus menerima reaksi negatif dari orang sekitar mereka.
Pada
wanita single perent seringkali
terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang
untuk menikmati hidup .
Para
wanita Single Parent ini selma masa perkawinan umumnya tergantung
secara ekonomi pada suaminya, selain itu para wanita single parent tidak bisa memikirkan dirinya sendiri karena terlalu
banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya.
Terlepas dari penyebab
terjadinya single parent tersebut
diperlukan dukungan untuk mereka, terlebih dukungan dari orang-orang sekitar
mereka.
Fenomena
single parent dan segala
permaalahannya seperti:
·
Masalah ekonomi, dimana single parent tersebut cenderung tidak
memliki uang karena selama masa perkawinan para wanita ini tergantung secara
ekonomi pada suaminya
·
Ketiadaan patner dalam menjalankan
fungsi dari sebuah keluarga
·
Masalah dengan lingkugan, dimana single parent
harus siap menerima reaksi negatif dari orang-orang sekitar mereka terlebih
untuk wanita untuk menjadi orang tua
tunggal itu tidaklah mudah
juga
terjadi di desa Sidodadi kecamatan Padang Cermin kabupaten Pesawaran, walaupun
tidak ada data sfesifik mengenai jumlah single
parent karna pada umumnya warga tidak melaporkan prihal perubahan status
pernikahan mereka .
Terkait
dengan itu, fenomena single parent di
desa Sidodadi ini perlu menjadi perhatian guna segera dicari jalan
penyelesainnya, serta perlunya gambaran mengenai kondisi single parent di pedesaan realtif baru, untuk itu menarik untuk
dilakukan penelitian guna mendapatkan informasi secara ilmiah tentang potret
wanita single parent di desa Sidodadi.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana
potret single parent di desa Sidodadi
kecamatan Padang Cermin-kabupaten Pesawaran dilihat dari penyebab dan akibat ?
C. Tujuan Penelitian
Mengkaji
dan menganalisis potret single parent
di desa Sidodadi kecamatan Padang Cermin-kabupaten Pesawaran dilihat dari
penyebab dan akibatnya.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan
teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan informasi empirik dan pengetahuan seputar
potret kehidupan single parent di
pedesaan dan hasil penelitian ini dapat
memperkaya pengetahuan tentang ilmu sosial khususnya pada disiplin ilmu
sosiologi keluarga.
2. Kegunaan
praktis
·
Penelitian ini diharapkan mampu
memberikan masukan bagi orangtua tunggal agar dapat sebisa mungkin
memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari statusnya yang single parent.
·
Hasil penelitian ini dihrapkan dapat
membantu memberikan alternatif informasi, bahan referensi serta sebagai sumber awal bagi peneliti-peneliti lainnya yang
tertarik meniliti mengenai single parent maupun penelitian yang berbeda namun
terkait dengan penelitian ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Potret
Potret
menurut Hartono (1997:789) merupakan gambaran sebuah keadaan yang fluktuatif,
sedangkan yang dimaksud potret oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
gambaran single parent di desa
Sidodadi kecamatan Padang Cermin kabupaten Pesawaran dilihat dari penyebab dan
akibatnya.
B. Tinjauan Tentang Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Menurut
Hassan Shadily (1984 :244) keluarga adalah perserikatan yang kekal dan keluarga
dalam arti sesungguhnya adalah keluarga yang memiliki anak, dimana adanya
keluarga ini penting sekali artinya bagi sosialisasi dan pendidikan anak
tersebut sebagai anggota masyarakat.
2. Ciri-ciri dan Sifat Keluarga
Keluarga
menurut Suparlan (1990:12-13) memiliki ciri-ciri umum dan ciri-ciri khusus,
ciri umum keluarga yaitu :
1. Keluarga merupakan susunan
orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan yaitu pertalian antara
suami dan istri ; darah atau adopsi yang merupakan pertalian antara orangtua
dan anak.
2. Anggota-anggota keluarga ditandai
dengan hidup bersama dibawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga
atau jika mereka bertempat tinggal, rumah tangga tersebut menjadi rumah mereka.
3. Keluarga merupakan satu kesatuan dari
orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan
sosial.
4. Perkawinan pada dasarnya merupkan
penyatuan dari dua orang yang masing-masing mempunyai sejarah sendiri-sendiri
dan juga merupakan gabungan dari pola-pola kebudayaan yang disalurkan melalui
dua sisi keluarga yang dalam interaksinya dengan kebudayaan–kebudayaan luar
menimbulkan pola-pola kebudayaan yang berbeda dari setiap keluarga baru.
Masih
menurut Suparlan (1990:30-33) ciri-ciri khusus keluarga adalah sebagai berikut:
1. Kebersamaan keluarga merupakan bentuk yang
hampir universal.
2.
Dasar-dasar emosional. Hal ini didasarkan pada suatu kompleks dorongan-dorongan
yang sangat mendalam dari sifat organis manusia.
3.
Pengaruh perkembangan: hal ini merupakan lingkungan kemasyarakatan yang paling
awal dari semua bentuk kehidupan yang lebih tinggi, termasuk manusia dan
pengaruh perkembangan yang paling besar dalam kesadaran hidup yang sama
merupakan sumbernya.
4.
Ukuran yang terbatas.keluarga merupakan kelompok yang terbatas ukurannya, yang
dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis yang tidak dapat lebih tanpa kehilangan
identitasnya.
5.
Posisi inti dalam struktur sosial keluarga merupakan inti dari organisasi
sosial lainnya.
6.
Tanggung jawab para anggota: keluarga memiliki tuntutan–tuntutan yang lebih
besar dan kontinyu daripada yang biasa dilakukan oleh asosiasi-asosiasi
lainnya.
7.
Aturan kemasyarakatan: hal ini khususnya terjaga dengan adanya hal-hal yang
tabu dalam masyarakat dan aturan-aturan sah yang dengan kaku menentukan
kondisi-kondisinya.
8.
Sifat kekelan dan kesementaraannya: sebagai institusi keluarga merupakan
sesuatu yang demikian permanen, universal dan sebagai asosiasi merupakan
organisasi yang paling bersifat sementara serta yang paling mudah berubah dari
seluruh organisasi-organisasi penting lainnya dalam masyarakat.
Menurut
pendapat Hassan Shadily (1984:278) keluarga memiliki sifat istimewa yang
berlaku pada masyarakat manapun dalam hal:
1. Mengadakan hubungan seks antara
suami-istri, sehingga ada perkataan bahwa perkawinan menjadi sempurna setelah
diadakan hubungan seks.
2. Cara perkawinan yang disyahkan oleh
latar belakang budaya suami–istri itu sendiri untuk memperkekalkan hubungan
suami-istri itu dan keturunannya, maksudnya adalah misalkan suami-istri yang
menikah secara Islam, maka pernikahan merekapun dianggap syah oleh masyarakat.
3. Adat-istiadat daerah atau golongan
selanjutnya mengatur hubungan keturunan seterusnya mengenai nama, ahli waris
dan sebagainya yang dalam hal ini di Indonesia teristimewa mengenai ahli waris,
mengikuti peraturan-peraturan agama besar yang dipeluknya.
4. Keluarga inti ini merupakan sistim
kerjasama antara suami-istri dan keturunan dan merupakan pendidikan yang
penting dalam sosialisasi anak-anak yang dibesarkan.
3. Bentuk-Bentuk Keluarga
Menurut
Goode (1991:89) berbagai macam bentuk keluarga mempengaruhi interaksi keluarga,
misalkan pengaruhnya pada berkurang atau bertambah eratnya hubungan sosial
antar anggota-anggota kelompok dan sanak keluarga, sedangkan menurut Ihromi
(2002:106-107) dalam setiap masyarakat memiliki bentuk yang berbeda antara satu
dengan yang lain hal itu tergantung dimana keluarga tersebut berada. Bentuk
disini dapat dilihat dari beberapa segi
yaitu :
Bila
dilihat dari jumlah anggota keluarga :
a.
Keluarga Batih (Nuclear Family)
Keluarga
batih adalah kelompok yang terdiri dari dari ayah, ibu dan anak-anaknya yang
belum menikah. Nama lain dari bentuk keluarga semacam ini adalah keluarga conjungnal.
Menurut Soerjono Soekanto (1992:85)
fungsi pokok keluarga batih adalah:
·
Sebagai
wadah berlangsungnya sosialisasi primer, yakni dimana anak-anak dididik untuk
memahami dan mematuhi kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
·
Sebagai
unit untuk mengatur hubungan seksual yang semestinya.
·
Sebagai
unit sosial ekonomi yang membentuk dasar kehidupan sosial ekonomi bagi anak-anaknya.
·
Sebagai
tempat berlindung bagi anggotanya.
Menurut Soerjono Soekanto lebih
lanjut (1992:23), keluarga batih
memiliki peran sebagai berikut:
·
Sebagai
pelindung pribadi-pribadi anggota keluarga dimana ketentraman dan kertibaban
diperoleh dalam wadah tersebut.
·
Merupakan
unit sosial-ekonomi yang secara materil memenuhi kebutuhan-kebutuhan
anggotanya.
·
Menumbuhkan
dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
·
Merupakan
wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana
manusia mempelajari dan mematuhi kiadah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku di
masyrakat.
Sedangkan menurut Goode (1991:106)
keluarga batih memiliki kelebihan diantaranya adalah :
·
Keluarga
batih tidak terlalu bergantung dengan pertolongan keluarga luas.
·
Kedekatan
antar anggota keluraga lebih tajam dan dalam
Dan kekurangan keluarga konjungnal
menurut Goode (1991:106) adalah angka perceraian pada bentuk keluarga ini
adalah cenderung tinggi.
b.
Keluarga Luas (Extended Family)
Keluarga
luas adalah keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketuranan dari kakek
dan nenek yang sama termasuk keturunan masing-masing istri dan suami. Dengan
kata lain keluarga luas adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang
memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang
diperluas digunakan bagi suatu sistem yang masyrakatnya menginkan generasi yang
hidup dalam satu atap rumah tangga.
Berikut
ini adalah kelebihan yang dimiliki oleh keluarga luas menurut Goode (1991:102):
·
Setiap anggota keluarga dengan mudah
mendapatkan pertolongan anggota kelompok lain, mengingat begitu banyaknya
jumlah anggota keluarga di keluarga ini.
·
Umur pernikahan umumnya lebih awet atau
mampu bertahan secara lama daripada keluarga batih.
·
Dari segi ekonomi keluarga luas lebih
menguntungkan apabila ada anggota keluarga lain yang membutuhkan bantuan
ekonomi.
Lebih
lanjut Goode (1991:107-108) mengatakan bahwa keluarga luas juga memiliki
kekurangan yaitu :
·
Diperlukan individu yang mampu mengatur
dan memimpin.
·
Biaya hidup lebih besar bagi anggota
keluarga yang diharapkan mampu menolong anggota keluarga lainnya yang sedang
kesulitan .
·
Harus memastikan bahwa tanah atau modal
lainnya adalah milik sendiri guna menunjang keluarga besar itu agar tetap
berdiri hingga generasi selanjutnya.
Sedangkan
bila dilihat dari system yang digunakan :
a. Keluarga
Pangkal (Steam Family)
Keluarga
pangkal adalah jenis keluarga yang
menggunakan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua. Keluarga
pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman feodal.
Pada
masa tersebut anak-anak yang paling tua bertanggung jawab pada adik-adik
perempuannya hingga menikah, begitu juga pada anak laki-laki lainnya.Dengan
demikian ,keluarga ini memusatkan kekayaan hanya pada satu orang .
b. Keluarga
Gabungan (Joint Family)
keluarga
gabungan yaitu keluarga yang terdiri dari orang-orang yang berhak atau milik
keluarga, disini ditekankan pada keluarga laki-laki walau saudara laki-laki itu
terpisah, mereka menganggap sebagai satu keluarga gabungan dan tetap menghormati
kewajiban bersamanya.
Selain
bentuk-bentuk keluarga diatas terdapat bentuk keluarga lainnya yaitu :
Bentuk
keluarga berdasarkan susunannya (Abu Ahmadi, 1991:112)
a.
Keluarga yang bersifat otoriter dengan
ciri-ciri orangtua lebih dominan.
b. Keluarga demokrasi dengan ciri-ciri anggota keluarga ini
khususnya anak-anak, bersifat fleksibel, dapat menguasai diri, menghargai orang
lain, terbuka terhadap kritik dan memiliki emosi yang stabil.
c. Keluarga yang liberal, keluarga ini
memiliki ciri-ciri sifatnya agresif, tidak koopratif, dan defensive.
Bentuk
keluarga berdasarkan hubungan anggota keluarga dengan dunia luar (Abu Ahmadi
1991:174).
a. Keluarga
terbuka
Yaitu
keluarga yang mendorong anggota-anggotanya untuk bergaul dengan masyarakat
luas. Anak bebas bergaul dengan teman-temanya. Ayah dan Ibu banyak mempunyai
kenalan. Keluarga terbuka bagi tamu. Anggota keluarga mempunyai perhatian
masalah-masalah kemasyarakatan.
Keluarga
yang bersifat terbuka lebih sedikit mengalami ketegangan-ketegangan daripada
keluarga bersifat tertutup, karna pergaulan dengan dunia luar dapat menghilangkan atau mengurangi
beban-beban emosional.
b. Keluarga
Tertutup
Yaitu
keluarga yang menutup diri terhadap hubungan dengan dunia luar. Keluarga yang
tertutup menghadapi orang luar dengan kecerugian. Hubungan sosial yang intim,
kencintaan, afeksi, terbatas dalam lingkungan keluarga sendiri.
Karna
tekanan-tekanan batin tidak dapat disalurkan keluar hubungan sosial dengan
dunia luar, maka kemarahan, kekecewaan ditumpahkan kepada keluarga sendiri,
tetapi keluarga yang tertutup lebih intim dan kompak.
4.
Keluarga dan Masyarakat
Menurut
Goode (1991:2) masyarakat adalah adalah struktur yang terdiri dari keluarga dan
bahwa keanehan–keanehan suatu masyarakat tertentu dapat digambarkan dengan
menjelaskan hubungan kekeluargaan yang berlansung didalamnya.
Bahkan
menurut Hassan Shadilly (1984:51) asal terbentuknya masyarakat adalah karna
adanya pernikahan dan keluarga, karna pada dasarnya manusia adalah tidak dapat
hidup sendiri, maka manusia tertarik hidup bersama dengan orang lain atau
berkeluarga, hal ini dikarnakan :
a. Hasrat yang berdasar naluri (kehendak
biologis yang diluar penguasaan akal) untuk mencari teman hidup, pertama untuk
memenuhi kebutuhan seksual yang sifatnya biologis dan hal ini terdapat pada
semua makhluk hidup.
b. Manusia memiliki kelemahan yang
mendesak untuk mencari kekuatan bersama yang terdapat dalam berserikat dengan
orang lain, sehingga dapat berlindung bersama-sama dan dapat memenuhi kebutuhan
kehidupan sehari-hari dengan usaha bersama.
c. Manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang hanya menyukai hidup
berkelompok atau setidaknya mencari teman untuk hidup bersama, lebih suka
daripada hidup tersendiri.
d. Manusia hidup bersama bukan karena
persamaan, melainkan oleh karna perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan
dan sebagainya.
5. Keluarga dan Perubahan Sosial
Menurut
Abu Ahmadi (1991:170) perubahan sosial dapat mempengaruhi perubahan
fungsi-fungsi keluarga. Fungsi-fungsi sosial yang mengalami perubahan itu
adalah :
A.
Fungsi Pendidikan
Pada
dasarnya keluarga berfungsi dalam mendidik anggotanya, khususnya mendidik anak,
akan tetapi kini fungsi tersebut telah digantikan oleh sekolah-sekolah, karena
pada saat ini fungsi sekolah tidak hanya
memberikan pendidikan akademik tetapi pendidikan pribadi bagi anak.
B. Fungsi
Rekreasi
Dengan
tersedianya berbagai macam rekreasi yang lebih menarik pada saat ini, membuat
anggota keluarga lebih memilih untuk mengunjungi tempat-tempat rekreasi
tersebut daripada berkumpul dengan keluarga, sehingga hal itu menimbulkan
dampak, seperti:
·
Menjadi lebih bervariasinya jenis-jenis
rekreasi yang dialami keluarga.
·
Anggota–anggota keluarga cenderung
mencari hiburan di luar keluarga
C.
Fungsi Keagamaan
Proses sekulerisasi dalam masyarakat dan
merosotnya pengaruh institusi agama menimbulkan kemunduran fungsi keagamaan
keluarga.
D.
Fungsi Perlindungan
Dahulu
keluarga berfungsi memberikan perlindungan, baik fisik maupun sosial, kepada
para anggotanya.Sekarang banyak fungsi perlindungan dan perawatan ini telah
diambil oleh badan-badan sosial.
Perubahan sosial selain merubah fungsi dari
sebuah keluarga juga merubah sifat keluarga itu sendiri, dari keluarga
tradisional menjadi keluarga modern, perubahan sifat ini menimbulkan perubahan
lainnya, misalkan pada keluarga tradisional kekuasan ayah lebih dominan, tetapi
pada keluarga modern lebih demokratis, begitu juga faktor perceraian pun
berubah dan berbeda oleh terhadap dua macam keluarga ini.
Salah
satu bentuk perubahan sosial yang terjadi di masyarakat adalah perubahan dari
masyarakat agraris menjadi masyrakat industri, perubahan masyarakat agraris
yang tradisional menjadi masyarakat
industri yang modern telah mempengaruhi perubahan keluarga, yaitu dari keluarga
luas menjadi keluarga batih, menurut Abu Ahmadi (1991:172) terdapat tiga alasan
yang menyebabkan perubahan tersebut, yaitu :
1.
Industrilisasi menyebabkan keluarga batih menjadi lebih bersifat mobile,
mudah berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Keluarga tidak lagi
terikat oleh sebidang tanah untuk penghidupannya, melainkan mereka akan
berpindah ketempat dimana ada pekerjaan. Mobilitas keluarga ini akan
memperlemah ikatan kekerabatan dalam keluarga luas.
2. Industrilisasi
dapat mempercepat emansipasi wanita, karena memungkinkan wanita untuk
mendapatkan pekerjaan di luar rumah tangga. Emansifasi ini menyebabkan lemahnya
fungsi-fungsi keluarga luas di satu
pihak dan memperkuat fungsi keluarga batih di pihak lain.
3. Industrilisasi
telah menimbulkan corak kehidupan ekonomi baru dalam masyarakat. Dalam
masyarakat agrarian, semua anggota keluarga: anak-anak, wanita, orangtua dapat
turut serta dalam proses produksi pertanian sehingga posisi mereka dalam
masyarakat agraris menguntukan dari segi ekonomi, tetapi pada masyarakat
industry posisi mereka menjadi beban keluarga.
C. Tinjauan Tentang Single Parent
Pengertian Single Parent
Terbentuknya
keluarga berawal dari pernikahan, pernikahan menurut UU No.1 tahun 1974 pasal 1
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa,
akan tetapi pada saat ini konsep keluarga bukan lagi seperti yang diungkapkan
oleh Khairudin (1996:9) keluarga merupakan salah satu satu kelompok sosial
terkecil, biasanya terdiri dari ayah, ibu, satu anak atau lebih dan didalamnya
ada kasih sayang, saling mengasihi, dan rasa peduli serta adanya kontrol dan
mempunyai motivasi sosial masing-masing dalam keluarga, atau seperti yang
diungkapkan Ihromi (2002:5), keluarga sebagai satu kesatuan dari sejumlah orang
yang saling berkomunikasi dan berinteraksi dalam rangka menjalankan peranan
mereka sebagai suami, istri, ibu, bapak, anak-anak perempuan, saudara laki-laki
dan saudara perempuan karna pada saat ini konsep keluarga bisa hanya terdiri
dari satu orang tua baik itu ayah atau ibu saja, sehingga dari konsep kelurga
yang seperti ini muncul lah konsep single
parent.
Pengrtian
single parent menurut Hendi Suhendi (2001:140) adalah
keluarga yang terdiri dari orangtua tunggal baik ayah atau ibu sebagai akibat
dari perceraian dan kematian .
Penyebab Single Parent
Ada banyak hal yang
menyebabkan seseorang menjadi single parent, menurut Goode terdapat beberapa hal yang menyebabkan
terjadinya single parent yaitu :
1.
Perceraian
Menurut Goode
(1991:187) Perceraian pada saat ini dapat dikatakan tidak dipandang sebagai hal
yang tabu, itu berarti bahwa perceraian
bukan sesuatu yang memalukan dan harus dihindari, Goode berpendapat bahwa
penilaian atau pandangan yang menganggap perceraian sebagai suatu pernyataan
kegagalan adalah bias. Sistem perkawinan adalah berasal dari
perbedaan-perbedaan kepentingan, keinginan, kebutuhan, dan nafsu, serta dari
latar belakang sosial budaya dan ekonomi yang juga berbeda.
Ketegangan-ketegangan dan ketidakbahagian adalah lazim ada pada setiap
perkawinan. Akhirnya pada tingkat tertentu masyarakat dapat memberikan
toleransi umum dan memahami bahwa perceraian adalah merupakan salah satu
langkah yang harus ditempuh bagi penyelesaian akhir dari perselisihan suami
istri.
Pada umumnya
tingkat perceraian yang tinggi terjadi pada keluarga konjungnal, menurut Goode
(1991:216) sistem sosial sedang bergerak cepat atau lambat ke arah suatu bentuk
sistem keluarga konjugal dan juga ke arah industrialisasi. Perubahan sistem
keluarga menyesuaikan diri pada kebutuhan industrialisasi. Dengan
industrialisasi keluarga tradisional (sistem keluarga yang diperluas atau
gabungan) sedang mengalami kehancuran, dimana keluarga konjugal (keluarga inti)
cocok dengan kebutuhan industrialisasi
Secara relatif
sanak saudara baik secara hubungan karena perkawinan ataupun karena hubungan
darah tidak diikut sertakan dalam pengambilan keputusan sehari-hari dalam
keluarga konjugal. Setiap orang mempunyai kebebasan dan menentukan calon
pasangan hidupnya sendiri dan selanjutnya pasangan suami istri lebih banyak
berbuat terhadap kehidupan keluarga masing-masing. Keluarga luas tidak lagi
menyangga pasangan suami istri, dan tidak banyak menerima bantuan dari kerabat,
begitu juga sebaliknya. Keluarga luas lebih dapat bertahan daripada keluarga
kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Oleh karena itu angka
perceraian dalam sistem keluarga konjugal cenderung tinggi (Goode, 1991:106).
Lebih lanjut
menurut Goode (1991:212), beberapa faktor yang mempengaruhi perceraian antara
lain adalah sebagai berikut :
a.
Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut
di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukan oleh pasangan suami-istri
yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara
lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata
lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga memerlukan perincian
yang lebih mendetail.
b.
Krisis moral dan akhlak
Selain
ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh
landasan berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung
jawab baik oleh suami ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiyayaan,
pelecehan dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan pasangan, misal mabuk,
berzinah, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
c.
Perzinahan
Di samping itu,
masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah perzinahan,
yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan pasangan.
d.
Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya
yang kerap dikemukakan oleh individu yang ingin bercerai, untuk mengakhiri
sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlansung tanpa
dilandasi adanya cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami masalah
sebenarnya, juga harus berupaya mencoba menciptakan kerjasama dalam menghasilkan
keputusan yang terbaik.
e.
Adanya masalah-masalah perkawinan
Dalam sebuah
perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam
perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang
berlarut-larut dan didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah
ranjang.
Selain
kelima masalah diatas, Goode juga berpendapat bahwa masalah seks juga turut
mempengaruhi sebuah perceraian, pasangan suami-istri membutuhkan seks sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka dan sarana untuk menghasilkan
generasi baru. Berdasarkan berbagai survei di Amerika, 3/4 dari perceraian yang
terjadi diberikan kepada wanita. Fenomena ini menggambarkan konsep/paradigma
wanita dalam memandang arti perkawinan yang lebih besar bagi mereka dari pada
laki-laki, ketergantungan mereka dan kepuasan untuk penyesuaian diri terhadap
kehidupan itu sendiri (Goode, 1991: 196). Sebaliknya, terdapat satu
pengembangan penelitian yang menemukan bahwa para suami lebih sering melakukan
perceraian. Argumentasinya adalah hampir semua waktu, energi dan tenaga suami
dihabiskan di luar rumahnya. Kesempatan atau keadaan demikian membuka peluang
kepada suami untuk terlibat dalam tingkah laku yang rentan terhadap
keharmonisan keluarganya. Suami boleh saja menjalin banyak persahabatan dengan
lawan jenisnya. Akibatnya, terjadi jarak atau kurangnya keterikatan kepada
rumahnya sebagaimana halnya, istrinya, dan lebih banyak kemungkinan untuk
memperoleh kegembiraan hiburan, dan juga kesibukan diluar rumah (Goode,1991:196).
Goode lebih lanjut menjelaskan bahwa norma-norma persamaan hak modern, kelakuan sang suami itu mungkin membuat sang istri tidak bahagia. Sementara, bagi sang suami, istrinya tidak mempunyai banyak kekuasaan/otoritas untuk mengendalikan atau memaksanya agar mengikuti kemauannya. Sang istri pada permulaan, sedikit kemungkinan menginginkan perceraian, sedangkan sang suami kemungkinan merasa bersalah untuk menuntut hal itu. Hasilnya ialah bahwa laki-laki mungkin mengembangkan pola tingkah laku yang menimbulkan celaan, kutukan dan pelecehan bagi sang istri sebagai bagian dari memuncaknya pertengkaran antar keduanya yaitu membuat dirinya tidak disukai, ia menimbulkan dalam diri istrinya (dengan sengaja atau tidak) keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan (Goode, 1991: 197).
Goode lebih lanjut menjelaskan bahwa norma-norma persamaan hak modern, kelakuan sang suami itu mungkin membuat sang istri tidak bahagia. Sementara, bagi sang suami, istrinya tidak mempunyai banyak kekuasaan/otoritas untuk mengendalikan atau memaksanya agar mengikuti kemauannya. Sang istri pada permulaan, sedikit kemungkinan menginginkan perceraian, sedangkan sang suami kemungkinan merasa bersalah untuk menuntut hal itu. Hasilnya ialah bahwa laki-laki mungkin mengembangkan pola tingkah laku yang menimbulkan celaan, kutukan dan pelecehan bagi sang istri sebagai bagian dari memuncaknya pertengkaran antar keduanya yaitu membuat dirinya tidak disukai, ia menimbulkan dalam diri istrinya (dengan sengaja atau tidak) keinginan untuk memutuskan hubungan perkawinan (Goode, 1991: 197).
Menurut
Goode (1991:220), beberapa cara menanggulangi masalah perceraian antara lain :
·
Saling keterbukaan antara suami-istri
dalam menyikapi suatu masalah.
·
Berusaha untuk menghargai pasangan satu
sama lain.
·
Jika ada masalah dalam keluarga, hendaknya
diselesaikan dengan kepala dingin dan baik-baik.
·
Saling menyayangi antara pasangan dan
menghargai pendapat masing-masing.
2. Kematian
Menurut
Goode ( 1991:200) kematian adalah perpisahan yang terhormat.Goode juga
mengatakan pada umumnya hubungan antara single
parent yang yang ditinggal mati pasangan dengan keluarga pasangannya tidak
akan mengalami gangguan, dan menurut Goode
disinilah peran keluarga untuk menghibur dan memberikan dukungan moril
pada pasangan yang ditinggalkan, dukungan diberikan dalam situasi sosial yang
terkendali, selanjutnya Goode menambahkan pasangan yang ditinggalkan tidak akan
merasa sendirian karna dia akan dibuat merasa bagian dari keluarga pasangannya
dengan cara diikutsertakan dalam upacara keagmaan untuk kematian.
Tambah
Goode hampir pada semua masyarakat, wanita lebih banyak kemungkinan menjadi
janda, karena kematian laki-laki lebih tinggi.
3. Ketidaksyahan
Penyebab
ketiga yang menyebabkan wanita menjadi single
parent adalah wanita tersebut melahirkan anak tanpa ikatan perkawinan yang
syah. Anak yang dilahikan tanpa memiliki ayah yang syah melalui pernikahan Goode
menyebutnya dengan konsep “Ketidaksahan “, Goode (1991:50) mengatakan bahwa
anak yang dilahirkan di luar pernikahan lebih memalukan pada tingkatan sosial
tinggi dan menengah, sehingga tekanan untuk menikah lebih tinggi pada
masyarakat kelas atas dan perhatian masyarakat terhadap kelas atas lebih tinggi
daripada kelas bawah.
Goode (1991:53 ) juga berpendapat bahwa ada
dua upaya agar kita tidak terjerumus dalam perilaku menyimpang semacam itu
yaitu :
·
Pentingnya menguasai diri, dengan
menguasai diri Goode berpendapat bahwa akan muncul rasa bersalah apabila kita
berani mengambil resiko untuk melakukan penyimpangan.
·
Pentingnya memperhatikan control sosial
yang diberikan sebelum terjadi penyimpangan.
4. Empty Shell Family
Penyebab
terjadinya single parent yang
terakhir adalah wanita atau individu
tersebut memiliki atau mengalami empty
shell family (keluarga selaput kosong), keluarga selaput kosong digambarkan
oleh Goode (1991:204) adalah keluarga dimana orang-orang melaksanakan kewajiban
resminya satu kepada yang lain, tetapi tidak memberikan pengertian, kasih atau
dukungan dan tidak menaruh minat untuk saling berkomunikasi.
Sebenarnya
individu yang memiliki keluaga empty
shell family ini tidak membuat sesorang benar-benar menjadi single parent,
karna ia tetap hidup bersama pasangannya, walaupun tidak ada komunikasi antar
kedua belah pihak dan mereka hidup dalam rumah tangga yang semu, sehingga
masalah inti dari wanita yang mengalami ini adalah adanya kendala komunikasi.
Akibat Single Parent
Setiap
status dan peranan yang dimiliki oleh seseorang memiliki akibat, termasuk juga
status wanita yang menjadi single parent,
berikut beberapa akibat yang ditimbulkan karena perubahan status menjadi single parent:
1.
Peran Ganda
Wanita
yang menjadi single parent menurut
Goode (1991: 198) terdapat proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan
memperoleh peran baru, salah satu contoh penyesuaian yang dimaksud oleh Goode
adalah dalam hal ekonomi, seperti diketahui bahwa masalah makin meningkatnya
kebutuhan hidup akan
lebih berat jika dialami oleh wanita yang sebelumnya menggantungkan hidup pada
seorang suami atau memilih tidak bekerja. Banyak wanita yang setelah menikah
dilarang bekerja oleh suaminya untuk mengurus keluarga. Pada saat ditinggalkan
oleh suaminya (meninggal atau bercerai), tidak ada kestabilan secara ekonomi.
Saat mencoba mencari pekerjaan, tingkat penghasilan tidak terlalu besar karena
faktor pengalaman kerja yang masih minim. Belum lagi belum terbiasa dalam
mengurus keluarga sekaligus mencari nafkah,sehingga menurut Goode hal ini
menambah hal persoalan ekonomi.
Keadaan akan menjadi sulit
apabila jika anak tidak
mempunyai ayah yang syah, atau ayah yang “salah” kewajiban peran orang tua
terhadap anak menjadi kacau atau tidak dijalankan, atau bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan, misalkan saja Goode mencontohkan
bahwa anak yang orang tuanya tidak menikah tidak diakui oleh keluarga ayahnya,
dan baik ayah maupun keluarganya hanya mempunyai sedikit kewajiban hukum
terhadap si anak, dan tentu saja ini merugikan bagi wanita single parent yang
membesarkan sendiri anaknya.
Pentingnya
sebuah pernikahan orang tua bagi anak yang lahir diluar pernikahan membuat anak
tersebut memiliki ikatan secara hukum dengan orangtuanya, sehingga menurut
Goode (1991:46) ketiadaan bapak yang syah akan lebih menyulitkan.
2.
Krisis Percaya Diri
Menurut Goode (1991:190) masalah
utama seorang single parent adalah
masalah kepercayaan diri seorang single
parent di tengah masyarakat, karena menurut Goode hampir setiap orang yang
khususnya menjadi single parent
karena ketidaksyahan seperti diketahui bahwa melahirkan di
luar pernikahan lebih memalukan pada tingkatan sosial tinggi dan menengah (Goode,
1991:50), sehingga tekanan untuk menikah lebih tinggi pada masyarakat kelas
atas dan perhatian masyarakat terhadap kelas atas lebih tinggi daripada kelas
bawah. Wanita single parent karena bercerai kehilangan kehormatannya di
tengah-tengah masyarakat walaupun ia
tidak dikucilkan sama sekali, begitu juga dengan Wanita single parent yang hidup pada masyarakat
yang memegang nilai-nilai ketimuran, diharapkan untuk tidak lansung menikah
pasca suaminya meninggal, apabila wanita tersebut tidak memenuhi harapan
tersebut maka wanita tersebut akan menjadi bahan gunjingan masyrakat, yang tentu
saja menurunkan kepercayaan diri wanita tersebut (Goode, 1991:201-202).
3.
Kenakalan Remaja
Menurut Goode (1991: 205 ) rumah
tangga yang mengalami disorganisasi dikarnakan perceraian umumnya berdampak
pada timbulnya kenakalan pada remaja, khususnya angka kenakalan remaja lebih
tinggi pada remaja yang mengalami
disorganisasi keluarga karena orangtuanya bercerai daripada yang disebabkan
oleh kematian salah satu orangtuanya, kenakalan remaja ini timbul karena menurut
Goode ketiadaan model peran yang yang memuaskan bagi anak untuk dijadikan
contoh bagi anak untuk melakukan penyesuaian terhadap peraturan-peraturan
sosial.
D.
Ciri-Ciri Orang Tua Yang Ideal
Untuk
diketahui bahwa wanita single parent
yang juga seorang ibu bagi anaknya ,menurut Soerjone Soekanto (1992:116) perannnya sebagai ibu pada masa
kanak-kanak anaknya adalah besar sekali, sehingga dapat dikatakan bahwa pada
awal proses sosialisasi, seorang ibu mempunyai peranan yang besar sekali dan
ibu harus mengambil keputusan-keputusan yang cepat dan tepat yang diperlukan
pada periode itu, jika wanita tersebut tidak mampu menjalankan perannya dengan
baik, maka anak di kemudian hari kelak tidak mandiri.
Sedangkan
menurut Goode (1991: 143) peran ibu adalah menghibur, merawat dan mendamaikan
kembali mereka yang berselisih.
Seperti
yang dikatakan sebelumnya bahwa menjadi single
parent adalah hal yang tidak mudah karena harus merawat, mendidik dan
membesarkan anak seorang diri, maka seorang single
parent harus bisa menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu, dan baik
orang tua maupun anak mengharapkan bahwa orangtua hendaknya bersikap ideal.
Menurut
Soerjono Soekanto (1992:6) ciri-ciri orang tua yang ideal adalah sebagai
berikut :
1. Orangtua
seyogyanya bersikap tindak logis (sa’barene).
artinya, orang tua dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan yang salah.
2. Orang
tua seyogyanya bersikap tindak etis (sa’mestine).
Artinya, bersikap tindak yang didasarkan pada patokan tertentu, sehingga tidak
asal saja atau sembrono.beberapa ukuran sikap tindak etis itu adalah :
·
Tidak serakah.
·
Mampu tidak berkurangan tetapi tidak
serba kelebihan.
·
Tidak berlarut-larut.
3.
Ciri yang terakhir adalah bahwa
orang tua itu seyogyanya bersikap tindak estetis (sakepenake). Artinya adalah, seharusnya orang tua hidup enak, tanpa
menyusahkan orang lain.
Sementara
itu sebagai orangtua yang ideal, hendaknya wanita single parent harus mampu mengatasi persoalan yang dihadapi anak
akibat terjadinya single parent ,
menurut Hendi Suhendi (2001: 142) cara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi
anak akibat terjadinya single parent
antara lain :
·
Mengajarkan anak dalam menghadapi
peristiwa yang mungkin terjadi.
·
Mengenalkan kepada anak emosi yang
timbul seperti marah, rasa takut dan rasa bersalah.
·
Menekankan hidup untuk masa depan
daripada masa lampau.
·
Membantu hubungan anak dengan orang lain
agar lebih aktif daripada upaya mengendalikan hubungan tersebut.
·
Menghindarkan anak dari pemberian kasih
sayang yang emosional yang sifatnya merusak.
·
Mengajarkan kesempatan kepada anak untuk
memikul sesuatu tanggung jawab dalam menghadapi kehidupan yang diakibatkan oleh
suatu hubungan antar orang.
·
Mengajarkan kepada anak menghormati
mantan pasangan.
E. Kerangka Pikir
Setiap
individu pada dasarnya ingin membangun rumah tangga yang bahagia, akan tetapi
seiring dengan berjalannya waktu hadir faktor-faktor yang sifatnya destruktif
seperti perceraian, kematian, dan kegagalan komunikasi, sehingga menyebabkan
individu tersebut mengalami disorganiasi keluarga.
Disorganisasi
keluarga tersebut menyebabkan peran baru bagi individu tersebut salah satunya
adalah individu tersebut menjadi single
parent atau orangtua tunggal, perannya sebagai orang tua tunggal pun
menyebabkan berbagai dampak bagi individu tersebut dan orang-orang di
sekitarnya.
Penelitian
ini akan mengetahui potret wanita single
parent mulai dari akibat hingga dampak dari statusnnya tersebut di desa
Sidodadi kecamatan Padang Cermin kabupaten Pesawaran,sebagai acuan penelitian,
peneliti mengacu pada pendapat Goode (1991:196), peneletian ini sesuai dengan
teori fungsional structural yang cenderung melihat segala sesuatu itu saling
berkaitan dan segala sesuatu itu merupakan satu kesatuan system, sehingga teori
ini melihat bahwa keluarga adalah sebuah struktur yang tiap-tiap anggotanya
memiliki peran dan fungsi, apabila fungsi tersebut tidak ada atau tidak
berjalan, maka akan menimbulkan akibat bagi yang lainnya (Hendi Suhendi,
2001:161), terkait dengan penelitian ini bahwa apabila wanita tersebut menjadi single parent dalam artian wanita
tersebut tidak memiliki patner dalam menjalankan fungsi rumah tangga karena
disebabkan oleh perceraian,kematian,ketidaksyahan atau wanita tersebut
mengalami empty shell family ,maka
ketidaan patner tersebut menimbulkan akibat seperti adanya peran ganda, krisis
percaya diri, dan kenakalan remaja, dan inilah alsan mengapa penelitian ini
menggunakan teori fungsional structural. Berikut ini akan disajikan skema
kerangka pemikiran yang menjelaskan proses penelitian ini .
Gambar
1. Kerangka Pikir
Penyebab
Single Parent:
1. Perceraian
2. Kematian
3. Ketidaksyahan
4. Empty
Shell Family
|
Akibat Single Parent :
1. Peran Ganda
2.
Krisis
Percaya Diri
3. Kenakalan Remaja
|
SINGLE
PARENT
|
III.
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Menurut Sugiyono
(2008:2) metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan berdasarkan hal
tersebut terdapat empat kata kunci yaitu:
1. Cara
ilmiah berati kegiatan penelitian itu didasarkan pada cirri-ciri keilmuan yaitu
rasional, empiris dan sistematis
2. Rasional
berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara masuk akal sehingga
terjangkau oleh penalaran manusia.
3. Empiris
berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indera manusia, sehingga
orang lain dapat diamati oleh indera manusia, sehingga orang lain dapat
mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan.
4. Sistematis
artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah
tertentu yang bersifat logis.
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif, menurut Sugiyono (1991:7) lebih lanjut
metode kulaitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat
pospositivisme dan metode kulitatif juga
sering juga disebut metode penelitian naturalistic dan dalam penelitian
kulitatif dituntut untuk dapat menggali
data berdasarkan apa yang diucapkan, dirasakan dan dilakukan oleh informan.
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena data-data yang dikumpulkan di
lapangan adalah data-data yang berbentuk kata dan perilaku,kalimat dengan latar
alamiah dan peneliti sendiri sebagai instrumennya,selain itu digunakannya
metode kualitatif karena untuk memahami fenomena terkait dengan single parent
secara mendalam.
Setelah
data-data diperoleh data-data tersebut digunakan untuk menjelaskan dan medeskrifsikan
fenomena sosial yang diteliti. Mendefinisikan metode penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
B. Fokus Penelitian
Menurut
Sugiyono (2008: 290) fokus penelitian dalam penelitian kualitatif merupakan batasan masalah agar hasil
penelitian lebih terfokus dikarnakan adanya keterbatasan, baik tenaga, dana dan
waktu.
Penelitian
ini difokuskan pada dua hal seperti yang terdapat dalam rumusan masalah yang
kemudian akan dikembangkan berdasarkan atas pedoman wawancara yang telah
penulis buat sebelum melakukan penelitian dilapangan, adapun yang menjadi fokus
dalam penelitian ini adalah potret wanita single
parent dilihat dari sisi penyebab dan akibat di desa Sidodadi kecamatan
Padang Cermin kabupaten Pesawaran.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian
ini akan dilakukan di desa Sidodadi kecamatan Padang Cermin kabupaten
Pesawaran.
Alasan
dipilihnya lokasi ini adalah karena fenomena single parent kini telah
memasuki wilayah pedesaan termasuk desa Sidodadi, selain itu secara teknis
lokasi ini dipilh karna dapat memenuhi standar kualifikasi sehingga mempermudah
peneliti untuk mengumpulkan data.
D. Informan Penelitian
Sanafiah
Faisal (1990:45) dengan mengutip pendapat Spradley mengatakan bahwa hendaknya
informan memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Mereka
yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkuturasi, sehingga
sesuatu itu bukan sekedar diketahui , tetapi juga dihayatinya
2. Mereka
yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang
tengah diteliti.
3. Mereka
yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi.
4. Mereka
yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri.
5. Mereka
yang pada mulanya tergolong “cukup asing”dengan peneliti sehingga lebih
menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau narasumber.
Berdasarkan
kriteria tersebut maka informan dalam penelitian ini adalah wanita di desa
Sidodadi kecamatan Padang Cermin kabupaten Pesawaran yang menjadi single parent atau wanita yang berstatus
janda dan memiliki anak, jumlah informan ditentukan pada saat pelaksanaan
penelitian.
Alasan
mengapa mengambil informan wanita single
parent yang memiliki anak agar memperoleh informasi yang tepat, benar, dan
selengkap-lengkapnya, kemudian peneliti juga dapat mengetahui penyebab dan
akibat apa dari status single parent tersebut di desa Sidodadi kecamatan Padang Cermin
kabupaten Pesawaran
Metode
yang digunakan dalam penentuan informan ini adalah menggunakan metode snowball sampling dimana menurut
Sugiyono (2008:219) snowball sampling adalah
tekhnik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit
,lama-lama menjadi besar, caranya yaitu, peneliti memilih orang tertentu yang
dipertimbangkan akan memberikan data yang diperlukan lalu selanjutnya
berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari informan sebelumnya, peneliti
dapat menetapkan informan lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data
lebih lengkap.
E. Teknik Pengumpulan Data
Menurut
Sugiyono (2008:224) teknik pengumpulan data adalah langkah yang paling
strategis dalam penelitian dan berguna untuk mendapatkan data yang memenuhi
standar data yang ditetapkan.
Mengingat
bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, maka adapun teknik pengumpulan data yang akan
dipergunakan peneliti adalah sebagai berikut :
A. Wawancara
Mendalam
Wawancara yaitu teknik yang digunakan
untuk memperoleh data melalui percakapan lansung dengan para informan yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
Wawancara mendalam akan dilakukan dengan
dengan menggunakan pedoman wawancara yaitu berupa pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan pada informan. Hal ini dimaksudkan agar pertanyaan yang diajukan
kepada informan terarah tanpa mengurangi kebebasan dalam mengembangkan
pertanyaan serta suasana tetap terjaga agar kesan dialogis dan informal.
B. Observasi
Teknik observasi dipergunakan untuk mengumpulkan data
melalui pengamatan dan pencatatan lansung tentang objek yang akan menjadi topik
kajian dalam penelitian ini. Penggunaan teknik observasi dalam penelitian ini
dimaksudkan untuk mengungkap fenomena yang tidak diperoleh melalui teknik
wawancara dan teknik digunakan karena dapat mendukung data yang diperoleh
melalui wawancara, sehingga akan diketahui apakah data yang akan diberikan
informan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
F. Teknik Analisis Data
Menurut
Sugiyono (2008 : 244 ) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilah mana
yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
difahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Reduksi
Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih
hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan
polanya. Dengan demikian data yang direduksi akan memberikan gambaran yang
lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2008 :247).
2. Penyajian
Data (Display Data )
Penyajian data dilakukan dalam uraian
singkat, sesuai yang dikatakan menurut Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2008
: 249), yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif .
3. Penarikan
Kesimpulan ( Verifikasi Data )
Langkah terakhir yang dilakukan dalam
analisis data adalah penarikan kesimpulan,
Sehingga hasil wawancara dari informan ditarik kesimpulannya sesuai
dengan masalah dan tujuan penelitian. Pada tahap ini data yang telah
dihubungkan satu dengan yang lain sesuai dengan konfigurasi ditarik suatu
kesimpulan dalam data tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi,
Abu. 1991. Sosiologi Penddikan.
Rineka Cipta. Jakarta.
Faisal,
Sanafiah. 1990. Format-Format Peneitian
Sosial. Rineka Cipta. Jakarta.
Goode
,William J.1991. Sosiologi Keluarga.
Bumi Aksara. Jakarta.
Ihromi,
Tapi Omas. 2002. Bunga Rampai Sosiologi
Keluarga. Yayasan Obor Indonesia.
Khairudin,
H. 1996. Sosiologi Keluarga. Penerbit
Nurcahaya. Yogyakarta.
Melia,
Djaja S. 2008. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Perkawinan. Nuansa Aulia. Bandung.
Shadily,
Hassan. 1984. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Bina Aksara.
Jakarta.
Soekanto,
Soerjono. 1992. Sosiologi Keluarga
(Tentang Ikhwal Keluarga ,Remaja,Dan Anak. Rineka Cipta,Jakarta.
Sugiyono.
2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Alfabeta.
Bandung.
Suhendi,
Hendi. 2001. Pengantar Studi Sosiologi
Keluarga. Pustaka Setia. Bandung.
Suparlan,
YB. 1990. Masalah Perkawinan.
Rajawali Press. Jakarta.
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 8 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif : arena-domino.net
100% Memuaskan ^-^